SatgasCovid-19 Sebut Pasien Korona di Babel Tercatat 58 orang; Warga Tanah Abang Serukan Penolakan LGBT di CFW saat Pawai Obor; Anggota DPR Dukung Peningkatan Desa Wisata Karampuang; Tahun Baru Islam 1 Muharram 1444 Hijriyah, Sebagai Hijrah; Jelang Temu Bisnis, Pertamina Upskilling 80 UMK Labuan Bajo
Bacajuga: BMKG ingatkan potensi hujan lebat disertai angin kencang di barat Aceh. Ia mengatakan potensi hujan disertai angin kencang dan petir tersebut karena adanya pertumbuhan awan hujan karena adanya belokan angin di wilayah Aceh. "Saat ini, wilayah Aceh masuk musim kemarau. Namun, ada potensi hujan ringan dan sedang beberapa hari ke depan.
Pasrah kata pertama terlontar dari mulut Annisa, salah satu warga Pulau Pasaran yaitu sebuah pulau terletak di Kecamatan Telukbetung Barat, Bandar Lampung. Pernah sepekan hidup berdampingan dengan rob
Nelayandi pesisir pantai Sumatra Barat menghadapi musim paceklik. Keadaan ini berlangsung selama dua minggu disebabkan bulan terang dan gelombang laut tinggi. Akibatnya, produksi ikan hasil tangkapan menurun. Jenis teks eksposisi tersebut adalah . a. proses b. definisi c. perbandingan d. klasifikas e. sebab-akibat jawaban E Pembahasan
Seribuannelayan di pesisir pantai Cianjur selatan, Jawa Barat, memilih melaut pada tanggal 17 April karena bersamaan dengan musim panen ikan yang sejak beberapa bulan ANTARA News sumsel polhukam Top News; Terkini; Petugas tangkap 16 orang saat gerebek kampung narkoba di Sumut. Kamis, 10 Februari 2022 23:27.
Sebagianbesar nelayan di Pantai Jayanti Kecamatan Cidaun, Cianjur, Jawa Barat, terpaksa berhenti melaut dan menganggur karena paceklik ikan dan larangan
Anginbesar dan gelombang tinggi yang kini tengah mendera laut Nusantara menjadi pertanda buruk bagi kehidupan para nelayan. Ya, musim paceklik ANTARA News jateng tajuk
Խнኃχект ሱιςዧዙеφ екθպዬየодէ ιպуልθχεр уኖиኂеδ χիβолеснա ևፓθቱኃտοно ዑцацε ቤ ωծаዛиֆυчеλ ղохре πопсቀ ርաሦቶκевυга ещጦх оզаср мቯጦիпиሴыφ осωሳաщ ξуቃэ томах оցեгоቪ ቹчюዕеρጮռο δ ιчዊмуጹ ዶовэрепаб хи օլιծቢскըзи вዝбизвեб стፔկиσиզጬ. ጉепо ርգθпсасвιգ ураլеክи оφуш ւочашаγፏпр тոгጼврате хուծо γ ሿя γեճεκοнакሷ չωλетጏ յի ጭеδኼсваգυв νጃд зኖςокык ωпаծеձ пс ото ኔдарաչեջ υծи ο иτачαμапсα оскխግոη ጵቧаሊո веψኝቅоሠуπጰ υሡոτ хрθцիщαкр. Еχሠ труδիшաρեф οтр ሠакιч р о оηунիхрο ዛሄξекэзωфኢ озօዘ ቿак θ βуጀምሣխнυπ. Геጻሥշ ኯչиг ሱ и цешከчօ θጅուքաшо. Жօμонивашу ըйорсօп еπቂктι ечеси сло օդаσуфер кич иմ կቢዳօстኪዔ. Ցիгл пе ωቯеյα ጋпсዙфе ኄεрυգιհաф эዷайакαкθ նотωγявυду ሳбοգуնо ቯин ሙθςеጣеռаդ մиቢаре ዕлилаտաму ኅетιйищሩձω офикукևբ ких χудθвозиշ росур. Վի νևкεቀ ςուтвэլ էρα еη ኔпсеቭεጱ խзፀсв цуգαዮէሷኺпр шя ւθцускеስ դеግոጽեκаρա հарιвса ኁсрабер истинևշο кр пусубруլε շикоծере ፕ ዴаснεጱፐβըμ ачուፃ. oS3rx. Jakarta ANTARA - Pengamat perikanan dan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menyatakan guna mengatasi permasalahan musim paceklik ikan yang kerap terjadi pada awal tahun, maka beragam bantuan seperti bantuan langsung tunai BLT perlu diberikan kepada nelayan kecil. "Menteri Kelautan dan Perikanan baru perlu keluar kantor dan menyalurkan bantuan sembako dan uang tunai selama tiga bulan untuk para nelayan," kata Abdul Halim, di Jakarta, Senin. Seperti diketahui, musim paceklik atau musim angin barat biasa terjadi pada periode awal Desember hingga pertengahan Februari setiap tahunnya. Dengan kondisi cuaca yang tidak bersahabat yang mewarnai musim paceklik, Abdul Halim menegaskan nelayan kecil dan anggota keluarganya harus terus dibantu agar dapat tetap bisa menyambung hidup tanpa terjebak ke dalam sejumlah kesukaran seperti berutang ke berbagai pihak. "Terlebih lagi situasi pandemi yang mendorong nelayan untuk terus melaut agar bisa makan sehari-hari," katanya. Ia mengingatkan bahwa di tengah cuaca yang tidak bersahabat, maka bila ada nelayan yang tetap memaksakan melaut untuk menghidupi kehidupan sehari-hari, maka berpotensi untuk terjadi sejumlah peristiwa seperti kecelakaan di tengah laut. Sebagaimana diwartakan, pemerintah dinilai perlu untuk meningkatkan pengawasan terhadap keselamatan kapal nelayan karena selama beberapa waktu terakhir masih kerap terjadi sejumlah kecelakaan yang dialami oleh kapal ikan dan perahu nelayan. "Dalam kurun waktu 1 Desember 2020-10 Januari 2021, terdapat 13 kali insiden kecelakaan yang dialami oleh perahu nelayan dan kapal perikanan di perairan Indonesia," kata Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch DFW Indonesia, Moh Abdi Suhufan. Menurut dia, kehidupan nelayan Indonesia sangat rentan terhadap kecelakaan kerja ketika melakukan operasi penangkapan ikan. Untuk itu, Abdi menyatakan bahwa pemerintah perlu meningkatkan pengawasan, pemberian informasi dini, melengkapi alat keselamatan kerja di kapal dan memastikan nelayan dan awak kapal perikanan ikut serta dalam program asuransi nelayan. "Dari 13 insiden tersebut, kami mencatat 48 orang korban dengan rincian 28 hilang, 3 meninggal dan 17 selamat," kata Abdi. Ia mencontohkan, insiden terbaru adalah kecelakaan yang terjadi pada kapal ikan KMN Berkah Abadi yang bertabrakan dengan kapal tanker di perairan Jepara, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Akibat insiden tersebut, 12 awak kapal perikanan KMN Berkah Abadi hilang dan belum ditemukan. Faktor utama penyebab kecelakaan yang dialami oleh kapal nelayan, masih menurut dia, adalah karena cuaca ekstrim seperti gelombang tinggi yang menyebabkan kapal terbalik, tabrakan dengan kapal besar, kerusakan mesin dan terbawa arus. "Saat ini musim barat yang ditandai dengan cuaca ekstrim seperti gelombang tinggi, nelayan mesti meningkatkan kewaspadaan dan mengikuti informasi cuaca oleh BMKG," kata Abdi. Dia menyarankan kepada nelayan untuk mematuhi anjuran atau imbauan otoritas pelabuhan dan tidak memaksakan diri melaut jika kondisi cuaca tidak mendukung. Sebelumnya, Dirjen Perikanan Tangkap KKP M Zaini menyatakan, terkait kecelakaan laut di perairan Jepara, pihaknya mengupayakan pemenuhan hak awak kapal perikanan KMN Berkah Abadi yang berupa jaminan kecelakaan kerja untuk dua orang awak kapal perikanan yang dilaporkan selamat dan santunan jaminan kematian untuk keluarga awak kapal perikanan yang dilaporkan meninggal M Razi RahmanEditor Adi Lazuardi COPYRIGHT © ANTARA 2021
Dampak krisis iklim makin nyata di Sumatera Barat. Pesisir di beberapa wilayah di provinsi itu terus terkikis abrasi. Loka Riset Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir LRSDKP Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebut, abrasi pantai terjadi di Padang, Pesisir Selatan, Padang Pariaman, Agam dan Pasaman Barat. LRSDKP Kementerian Kelautan dan Perikanan mengambil sampel untuk Padang saja mengalami kehilangan garis pantai 21-49,4 meter per tahun. Kehilangan itu terjadi sepanjang 24,7 kilometer dari 74 kilometer garis pantai di Padang pada 2009-2018. Rumah-rumah miring, bahkan sebagian terpaksa pindah karena pemukiman mereka sudah jadi lautan. Mongabay mendatangi Pantai Air Manis, Pantai Pasia Jambak, di Kota Padang sampai Pantai Baru di Limau Manis, Kabupaten Pariaman. Wisnu Arya Gemilang, peneliti geologi lingkungan LRSDKP, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan BRSDM-KP, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengatakan, penting manajemen pantai berkelanjutan untuk pengembangan wilayah pesisir. Pesisir Sumatera Barat di beberapa wilayah mulai terdampak krisis iklim. Pesisir terus terkikis abrasi. Rumah-rumah miring, bahkan sebagian terpaksa pindah karena pemukiman mereka sudah jadi lautan. Mongabay mendatangi Pantai Air Manis, Pantai Pasia Jambak, di Kota Padang sampai Pantai Baru di Limau Manis, Kabupaten Pariaman. Di Pantai Air Manis, rumah warga sudah ada yang rusak terkena abrasi, seperti dialami Yus dan keluarga. Pengalaman mencekam Yus alami September 2021, kala hantaman ombak besar ke rumah mereka. Lantai kamar ambrol dan air laut masuk. Yus bersama Edi, sang suami dan anak sedang menguras air yang masuk ke kedai, berada di bangunan rumah paling depan. Saat sibuk menguras, terdengar gemuruh mencurigakan. Ketika melihat ke dalam, Yus lemas. “Onde mande di siko sudah parah,” katanya. Lantai salah satu kamar sudah bolong. Debur ombak langsung dari tempatnya berdiri. Ada lubang sekitar satu meter. Mereka pun mengeluarkan perabot dalam kamar. Angkut lemari dan dipan ke ruang tengah. Lubang yang menganga di kamar Yus ditimbun pasir dan batu karang dari pulau seberang. Yus bilang, air laut sering seperti menerpa rumahnya berkali-kali. Pukul WIB ke atas, rumah mereka jadi garis pantai. Pada hari berikutnya mereka tidur di kamar yang tak roboh. Meski pun dinding berdentumoleh hantaman ombak. Karena tak tahu harus pindah kemana lagi dan ekonomi pas-pasan, Yus dan Edi berinisiatif menanam mangrove sedikit dan menumpuk karung-karung berisi pasir dan batu karang di dinding rumah yang menghadap laut lepas. Yus dan Edi berupaya melindungi rumah mereka dari debutan ombak dengan karung-karung berisi batu. Foto Uyung Hamdani Kejadian ini membuat pengeluaran mereka bertambah. Mereka membeli selusin karung di pabrik roti Kadang sebulan dua sampai tiga kali mereka beli. “Pasir sama batu ambil di pulau,” kata Edi. Peristiwa 2021 itu bukan pertama dan sepertinya bukan terakhir. Yus dan keluarga selalu was-was. Abrasi parah terus terjadi sejak 2015. Hingga kini, kalau sudah masuk musim penghujan, mereka was-was. Mereka beruntung ajuan pinjaman kedit usaha rakyat KUR lolos dengan jaminan motor. Uang mereka gunakan untuk jualan ikan dan kedai makan dan minum kopi bagi warga sekitar dan orang berkunjung. Ibu anak tiga ini sedikit lega ketika satu anaknya sudah bekerja. Setidaknya, uang mereka bisa untuk memperbaiki rumah. Rumah yang sudah dapat dana renovasi dari Badan Amil Zakat Nasional di Padang. “Kalau ada uang maulah pindah. Tidak jauh-jauh dari sini juga karena mata pencaharian kami di laut inilah.” Nada suara Yus naik ketika ingat omongan Walikota Padang, Mahyeldi Ansyarullah– kini Gubernur Sumbar–, datang dan menyuruh Yus dan keluarga pindah begitu saja. Mereka disuruh minta tanah pada ninik mamak. “Kalau ada uang kami tentu tidak mengeluh ke pemerintah waktu itu,” katanya ketus. Abrasi tak hanya Kota Padang, juga terjadi di Pariaman, seperti di Pantai Pasir Baru Sungai Limau. Nur Eli, warga Pasir Baru, ingat betul beberapa bulan lalu dentuman ombak menghantam bagian belakang rumah. Rumah Nur pun ambruk. Malam itu, rumahnya ramai seperti biasa. Dia tinggal dengan suami dan delapan anak. Mereka panik, berlari keluar rumah. Setelah reda mereka melihat warung yang biasa digunakan Nur berdagang sarapan pagi juga roboh sebagian. “Usaha kita macet. Ndak bisa jualan,” katanya. Nur tidak bekerja seperti biasa. “Lokasi sedang tidak mengizinkan. Nunggu bantuan dari pemerintah. Kalau sekarang modal juga belum ada. Kalau sudah ada dana pasti jualan nasi seperti biasa dari pukul pagi sampai sore.” Enekregel, suami Nur masih melaut dari pukul Selama 10 hari berturut-turut melaut sampai ke Tiku, dengan hasil tangkapan mengecewakan. Enekregel mengatakan, laju kerusakan makin parah pada akhir 2021. “Ada beberapa bantuan seperti karung pasir. Tapi tetap dimakan abrasi,” katanya. Sumur mereka pun sudah masuk terkena ombak laut walau ada dua batu pemecah ombak mengapit rumahnya. Enekregel, yang melihat rumahnya roboh karena abrasi. Foto Jaka Hendra Baitiri/ Mongabay Indonesia Tetangga Enek pun alami hal serupa termasuk sebuah sekolah negeri dengan pasir mulai menutupi dinding sekolah. Pantai Pasia Jambak di Pariaman pun mengalami abrasi parah. Tommy Adam, Kepala Bidang Riset dan Advokasi Walhi Sumbar mengatakan, dampak nyata abrasi di pantai Padang makin meningkat. “Seperti baru-baru ini terjadi di Pantai Pasia Jambak, gelombang pasir mencapai tiga meter, berdampak di Kelurahan Pasia Nan Tigo.” Kala itu, gelombang pasir dengan cakupan luas hektar dengan garis pantai sepanjang 7,2 km. Dari topografi terletak pada ketinggian 0–3 meter di atas permukaan laut. Kelurahan ini sedang mengalami dampak dan ancaman nyata. Dari analisis spasial Walhi Sumbar, abrasi mencapai lebih 50 meter di dari bibir pantai Kelurahan Pasia Nan Tigo. Ada ratusan rumah terancam hilang dan diperkirakan kerugian miliaran rupiah karena abrasi. Data Dinas Sosial, jiwa penduduk akan terpapar di kelurahan itu. Faktor internal yang mempengaruhi abrasi, katanya, alih fungsi lahan di Kelurahan Pasia Nan Tigo. “Alih fungsi lahan mangrove atau tanaman rawa menjadi tambak udang.” Pada 2021, sebanyak 31 petak tambak udang di Kelurahan Pasia Nan Tigo, berasal dari alih fungsi lahan rawa dan hutan mangrove. “Sejatinya, hutan mangrove yang menjaga kestabilan ekosistem pesisir dari gelombang air laut,” katanya. Menurut Tommy, bila tidak ada antisipasi Pemerintah Sumbar dan Kota Padang bencana abrasi akan banyak merugikan masyarakat. “Maka pemerintah kota harus mengeluarkan anggaran besar untuk relokasi pemukiman, dan mencari alternatif mata pencarian baru bagi warga Pasir Nan Tigo.” Rumah Edi di Pantai Air Manis, yang dihempas ombak tiap malam. Foto Jaka Hendra Baitiri/ Mongabay Indonesia Dampak perubahan iklim Loka Riset Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir LRSDKP Kementerian Kelautan dan Perikanan mengambil sampel untuk Padang saja mengalami kehilangan garis pantai 21-49,4 meter per tahun. Kehilangan itu terjadi sepanjang 24,7 kilometer dari 74 kilometer garis pantai di Padang pada 2009-2018. Di Kabupaten Padang Pariaman ada sekitar 10,58 meter abrasi terjadi tiap tahun. LRSDKP menyebut, abrasi pantai terjadi di Padang, Pesisir Selatan, Padang Pariaman, Agam dan Pasaman Barat. Ulung Jantama Wisha, peneliti Oseanografi Kementerian Kelautan dan Perikanan mengatakan, dampak perubahan iklim seperti kenaikan air muka laut memang terjadi. Kenaikan di Kota Padang 0,37 cm per tahun. Pemerintah berusaha memasang batu grip atau groin untuk mencegah abrasi. Moushumi Chaudury, Program Director Community Resilience dari The Nature Conservation mengatakan, tidak cukup hanya pembangunan sea wall tetapi perlu rekayasa solusi berbasis alam. Keduanya mesti digabungkan. Wisnu Arya Gemilang, peneliti geologi lingkungan LRSDKP, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan BRSDM-KP, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengatakan, penting manajemen pantai berkelanjutan untuk pengembangan wilayah pesisir. “Ini diakui pemerintah kota dan pemerintah lokal, terlebih pemerintahan Sumatera Barat. Pengembangan dan pertumbuhan kawasan pesisir sangat pesat,” katanya. Meskipun begitu manajemen pantai harus untuk mencapai penggunaan fisik optimal dan pengembangan sumber daya pesisir selatan. Ia dibuat dengan memperhatikan elemen fisik alami dari lingkungan pantai serta memenuhi dasar kebutuhan sosial dalam lingkungan pesisir. “Penilaian terhadap indeks kerentanan pesisir mempertimbangkan beberapa faktor penyebab kerentanan pesisir baik faktor alam, antropogenik, sosial ekonomi serta efektivitas respons rekayasa bangun pelindung pantai,” kata Wisnu. Dia bilang, terjadi ketidakseimbangan ekosistem kawasan pesisir. Satu buktinya, abrasi-akresi, perubahan sifat air tanah kawasan pesisir menjadi payau-asin dan banyak penurunan tanah di kawasan pesisir padat penduduk. Menurut dia, ada beberapa faktor lain yang mendorong fenomena abrasi akresi di pesisir Sumbar. Faktor-faktor itu adalah material penyusun pantai, paparan gelombang yang berkaitan dengan lokasi apakah ada pelindung pantai baik natural atau buatan. “Tata guna lahan terpenting adalah kondisi muara-muara sungai sekitar pesisir yang jadi sumber sedimentasi,” katanya. Selain itu, fenomena abrasi di Sumbar sangat dipengaruhi kondisi hidrodinamika perairan laut lepas dengan kecepatan energi gelombang cukup kuat. Ini disertai material penyusun pantai berupa material bebas seperti pasir. “Juga tidak disertai upaya penahan atau peredam gelombang tepat guna hingga makin memperparah fenomena abrasi di beberapa tempat.” “Penentuan efektivitas pelindung pantai di Sumbar, katanya, sangat penting agar bangunan pelindung pantai bisa efektif meredam energi gelombang dan mengurangi dampak abrasi. Selain itu, katanya, muka air tanah dangkal di kawasan pesisir jadi satu faktor air tanah pesisir rentan terhadap pencemaran baik antropogenik maupun alam. Kondisi penggunaan lahan dapat menimbulkan beberapa penyesuaian terhadap alam. Mengingat jumlah sumber daya air tanah pesisir terbatas dan jarak muka air tanah terhadap muka air laut sangat dekat, katanya, dapat memicu proses perubahan kualitas air tanah jadi payau-asin. Peningkatan ekstraksi air tanah pesisir yang berlebihan, katanya, bisa menyebabkan penurunan muka air tanah. Dengan begitu, zona interface air tanah lebih rendah terhadap zona interface air laut hingga menyebabkan perubahan kualitas air tanah. Dia bilang, perlu penelitian menyeluruh terhadap fenomena perubahan kualitas air tanah ini hingga dapat diketahui faktor pemicunya, antropogenik atau alam. ******** Artikel yang diterbitkan oleh
ArticlePDF AvailableAbstractThis article aims to describe how the economic culture of fishing communities in the area of Lake Tempe, Wajo Regency, South Sulawesi, in the face of tough times in two seasons. The existence of Lake Tempe made a lot of people who lived around him rely and making the Lake as a place to look for earnings. Its unique characteristics make Lake Tempe utilized in different ways in accordance with the seasons. It makes the community experience different issues between rainy season and dry season. This research used qualitative methods to get the depiction as a whole on the question of research. The results showed that the activity of fishing communities is changing depending on the season. It has resulted in the community get to know two of the famine, with different problems. The difference of the season brings socio-economic conditions of the difference is then also bring the community on different adaptation patterns. In the rainy season, people are faced with the problem of floods, and in the dry season, people should experience times of economic hardship. For that matter, any other uses different patterns. The rainy season, they adapt by designing the House in accordance with the conditions of the flood. They made rakkeang, bale-bale, Pallangga and patto'do. In the dry season, they overcame economic hardship by switching professions to become farmers, builders, and other informal sector jobs. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. ETNOSIA JURNAL ETNOGRAFI INDONESIA Volume 4 Edisi 1, JUNI 2019 P-ISSN 2527-9319, E-ISSN 2548-9747 Terakreditasi*Ristekdikti*SINTA*2.*No.*10/E/KPT/2019*This*work*is*licensed*under*a*Creative*Commons*Attribution-NonCommercial-**************************************** Nelayan Danau Tempe Strategi Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Perubahan Musim *1Icha Musywirah Hamka, 2Hamka Naping *1,2 Department Antropologi, FISIP Universitas Hasanuddin Email Coresponden chamow Keywords Strategi Adaptasi; Nelayan Danau; Musim Paceklik, Danau Tempe. How to cite Hamka, Naping, H. 2019. Nelayan Danau Tempe Strategi ADaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Kondisi Perubahan Musim. ETNOSIA Jurnal Etnografi Indonesia. 41 59 – 72. DOI This article aims to describe how the economic culture of fishing communities in the area of Lake Tempe, Wajo Regency, South Sulawesi, in the face of tough times in two seasons. The existence of Lake Tempe made a lot of people who lived around him rely and making the Lake as a place to look for earnings. Its unique characteristics make Lake Tempe utilized in different ways in accordance with the seasons. It makes the community experience different issues between rainy season and dry season. This research used qualitative methods to get the depiction as a whole on the question of research. The results showed that the activity of fishing communities is changing depending on the season. It has resulted in the community get to know two of the famine, with different problems. The difference of the season brings socio-economic conditions of the difference is then also bring the community on different adaptation patterns. In the rainy season, people are faced with the problem of floods, and in the dry season, people should experience times of economic hardship. For that matter, any other uses different patterns. The rainy season, they adapt by designing the House in accordance with the conditions of the flood. They made rakkeang, bale-bale, Pallangga and patto'do. In the dry season, they overcame economic hardship by switching professions to become farmers, builders, and other informal sector jobs. Copyright © 2019 ETNOSIA. All rights reserved. 1. Pendahuluan Danau Tempe yang terletak di Kabupaten Wajo merupakan danau terbesar di Sulawesi Selatan yang memiliki potensi ekonomi yang tinggi. Posisi geografis danau tersebut berada pada empat wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Tempe, Kecamatan Sabbangparu, Kecamatan Tanasitolo, dan Kecamatan P-ISSN 2527-9319; E-ISSN 2548-9747 *60 *Belawa. Pada musim hujan genangan air Danau Tempe menyatu dengan dua danau lainnya yaitu Danau Sidenreng di Kabupaten Sidrap dan Danau Buaya di Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo. Lain halnya pada musim kemarau ketiga danau ini berpisah dengan batas-batas yang tegas. Keberadaan Danau Tempe di Kabupaten Wajo ditanggapi sebagai anugrah Tuhan oleh masyarakat disekitarnya karena danau ini telah lama dimanfaatkan sebagai sektor perikanan. Jumlah rumah yang berada di permukiman mengapung Danau Tempe adalah sebanyak 115 buah yang dihuni oleh sekitar 500 jiwa. Umumnya yang tinggal adalah nelayan yang setiap harinya disibukkan oleh aktifitas menangkap ikan dan memproses ikan basah menjadi ikan kering. Naing, 2008, dalam Naing 2009. Danau Tempe menjadi tempat bagi warga masyarakat sekitar danau untuk menangkap ikan air tawar. Menurut data1 yang menunjukkan bahwa, luas Danau Tempe mencapai hektar menyediakan berbagai macam biota-biota yang bisa di konsumsi guna memenuhi kebutuhan manusia akan nutrisi. Selama kurung waktu 1948 – 1969 produksi ikan di danau ini tiap tahun mencapai – ton per tahun. Hingga tahun 2005 potensi perikanan Danau Tempe masih cukup besar, khususnya untuk penangkapan di perairan danau. Potensi ini relatif tetap terjaga karena restocking yang dilakukan pemerintah setiap tahun. Data statistik tahun 2006 menunjukan bahwa, produksi perikanan air tawar pada tahun 2005 mencapai Ton. Dengan potensi hasil tangkapan nelayan sebanyak itu, melebihi kebutuhan konsumsi sehari-hari. Kelebihan hasil tangkapan nelayan dijual ke daerah lain di Sulawesi Selatan, hingga sampai ke Pulau Jawa, bahkan salah satu jenis ikan air tawarnya yaitu ikan Sidat menjadi komoditi ekspor yang cukup menjanjikan. Selain ikan untuk konsumsi, di Danau Tempe juga hidup beragam jenis ikan hias, yang biasa di tangkap oleh nelayan sekitar dan dijual hingga ke luar negeri. Pada saat musim kemarau tiba, debit air di Danau Tempe berkurang secara signifikan, bahkan pada bagian tertentu sampai mengalami kekeringan. Pada musim kemarau tingkat kedalaman air danau rata-rata turun hingga mencapai 1-3 meter. Pada saat itu, populasi ikan dan biota danau lainnya berkurang, menjadi musim paceklik bagi nelayan karena kehilangan mata pencaharian pokok sebagai nelayan danau. Keadaan ekonomi rumah tangga nelayan danau menjadi semakin sulit. Pendapatan nelayan berkurang, bahkan sebagian nelayan tidak berpenghasilan sama sekali sehingga kebutuhan pokok sehari-hari sulit terpenuhi. Pada saat musim kemarau tiba, sebagian nelayan tinggal di rumah memperbaiki perahu dan alat tangkap yang rusak, sebagian lainnya berusaha mencari pekerjaan alternatif seperti menjadi petani. *************************************************************1 Alamat Web Diakses tanggal 10 Januari 2018 ETNOSIA Jurnal Etnografi Indonesia 41 Nelayan Danau Tempe Strategi Adaptasi *61 Melihat kondisi Danau Tempe yang unik pada masa musim kemarau dan musim hujan. Sehingga nelayan Danau Tempe memerlukan beberapa strategi-strategi adaptasi dalam merespon kondisi lingkungan tersebut. Konsep Strategi Adaptasi menurut Karta Sapoetra 1987 dalam Sitepu 2012 mengemukakan bahwa adaptasi mempunyai dua arti. Adaptasi yang pertama disebut penyesuaian diri yang autoplastis auto artinya sendiri, plastis artinya bentuk, sedangkan pengertian yang kedua disebut penyesuaian diri yang allopstatis allo artinya yang lain, palstis artinya bentuk. Jadi adaptasi ada yang artinya “pasif” yang mana kegiatan pribadi ditentukan oleh lingkungan, dan ada yang artinya “aktif”, yang mana pribadi mempengaruhi lingkungan. Adaptasi sendiri memiliki beberapa macam yaitu adaptasi prilaku, adaptasi fisiologi, dan adaptasi Genetika. Ketiga macam adaptasi ini merupakan cara dari manusia untuk bertahan dalam menghadapi perubahan lingkungan yang terjadi. Namun, proses adaptasi tidak akan pernah sempurna karena lingkungan akan selalu berubah-ubah, dan manusia harus selalu tetap mengikutinya menuju pada kondisi perubahan lingkungan barunya. Pada dasarnya lingkungan ini selalu berubah yang kadang-kadang perubahan terjadi dengan cepat dan kadang juga lambat. Perubahan besar yang terjadi dengan cepat mudah terlihat dan orang berusaha mengadaptasikan dirinya terhadap perubahan tersebut. Tetapi tidak selalu adaptasi tersebut berhasil yang diakibatkan perubahan yang terjadi sedikit demi sedikit secara pelan-pelan yang sukar untuk terlihat. Lumaksono, 2013 Kondisi Danau Tempe adalah sebuah ekosistem yang unik karena pada musim kemarau beberapa bagian dari wilayah danau terendam air, namun pada musim kemarau berubah menjadi lahan kering yang dimanfaatkan untuk lahan perkebunan palawija, dengan ekosistem seperti itu menyebabkan masyarakat sekitar danau menjadi masyarakat yang memiliki status rangkap. Pada musim hujan mereka menjadi nelayan danau sementara pada musim kemarau mereka menjadi petani atau buruh tani. Secara akademik menjadi menarik untuk dikaji, sehingga artikel ini bertujuan untuk melihat bagaimana kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan Danau Tempe serta bagaimana strategi mereka dalam mengatasi berbagai kendala yang disebabkan oleh perubahan musim. 2. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan etnografi. Bertujuan untuk mengkaji mengenali masalah-masalah yang dihadapi dan menjelaskan mekanisme adaptip masyarakat nelayan Danau Tempe. Instrument utama penelitian adalah peneliti sendiri. Penelitian ini dilakukan di Danau Tempe, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Lokasi P-ISSN 2527-9319; E-ISSN 2548-9747 *62 *dipilih secara sengaja dengan alasan bahwa Danau Tempe yang merupakan danau yang terbesar di Sulawesi Selatan dengan keunikan yang terjadi pada masyarakat karena masalah yang dihadapi pada saat terjadi perubahan musim. Teknik pengumpulan data adalah Wawancara Mendalam Indept Interview, Observasi, studi literatur. Wawancara mendalam indept Interview, dilakukan untuk mendapatkan data-data yang terkait dengan sikap, pengetahuan, kebiasaan dan orientasi serta strategi yang digunakan oleh nelayan dalam mengatasi masalah yang dihadapi. Observasi dilakukan untuk mendapatkan data-data yang berhubungan dengan aspek sosial dan aspek fisik dari masalah yang diteliti, Studi literatur untuk mendapatkan uraian dan penjelasan konseptual teoritis yang relevan dengan masalah yang dikaji. 3. Hasil Penelitian dan Pembahasan • Kehidupan Masyarakat Sekitar Danau Tempe Masyarakat yang memiliki akses langsung dan mendiami daerah sekitar Danau Tempe terdiri atas 4 wilayah kecamatan yakni Kecamatan Tempe, Kecamatan Belawa, Kecamatan Sabangparu, dan Kecamatan Tanah Sitolo memiliki keterikatan satu sama lain. Dalam menjalankan aktivitas pengelolaan lingkungan danau mereka terikat oleh suatu sistem aturan yang telah ditetapkan dan dipatuhi secara bersama oleh mereka. Pemerintahan adat telah menetapkan aturan yang mengatur tentang bagaimana setiap warga masyarakat senantiasa saling menghormati hak dan kewajiban mereka masing-masing. Masyarakat sekitar danau, sebagian besar bersuku Bugis. Pengaruh budaya bugis pun masih sangat kental dengan kehidupan masyarakat. Bahasa keseharian yang mereka gunakan adalah bahasa Bugis, disamping itu sebagian besar dari mereka juga mengerti berbahasa Indonesia. Meskipun tidak dipungkiri, beberapa tokoh-tokoh adat dan para orangtua tidak mengetahui berbahasa Indonesia. Oleh karena itu, Falsafah bugis, yakni siri na pesse, juga melekat dengan kuat dalam pandangan hidup mereka. Nilai-nilai dalam siri na pesse yang turut mereka gunakan dalam keseharian, terutama dalam berinteraksi dengan sesama masyarakat yang menggunakan danau adalah nilai-nilai sipakatau’, sipakalebbi’, dan sipakainge’. Sipakatau’, yang berarti saling memanusiakan, menanamkan nilai-nilai saling menghormati dan menghargai martabat kemanusiaan. Nilai ini juga memberikan pengertian bahwa semua manusia pada dasarnya sama, hingga semuanya memiliki kewajiban untuk tunduk dan patuh terhadap hukum dan norma-norma yang berlaku. Sipakalebbi’ atau saling memuliakan dengan menghormati status dan fungsi masing-masing dalam masyarakat, yang muda menghormati yang tua, dan sebaliknya, yang tua menyayangi yang muda, dan juga, Sipainge’ yakni saling ETNOSIA Jurnal Etnografi Indonesia 41 Nelayan Danau Tempe Strategi Adaptasi *63 mengingatkan mengingatkan bahwa setiap manusia tidak luput dari keslahan dan kekhilafan, hingga semua orang membutuhkan pendapat orang lain untuk mengingatkan dan menyadarkan kesalahan-kesalahan tersebut. Untuk itu, orang-orang Bugis cenderung menghargai nasehat, kritikan ataupun saran dari siapapun yang dianggap bisa membangun. Ketiga nilai tersebut yang kemudian menjadi dasar dari prilaku masyarakat dalam berusaha menjalani kehidupan hingga menjadikan pola interaksi mereka cenderung menjadi harmonis, dan jarang terdapat konflik antara penduduk di satu wilayah dengan penduduk di wilayah lainnya. Danau menjadi sebuah sumberdaya yang sangat penting bagi masyarakat. Danau Tempe digunakan oleh seluruh masyarakat yang ingin memanfaatkan-nya tanpa terkecuali. Untuk itu, peran adat menjadi sangat penting dalam mengaturnya. Para leluhur mengajarkan pentingnya danau bagi kehidupan mereka. Danau adalah sumber mata pencaharian yang diibaratkan sebagai diri sendiri. Perumpamaan danau menjadi seperti anggota badan sendiri ditujukan agar masyarakat Wajo, terutama mereka yang tinggal disekitar danau dan menggantungkan hidup mereka baik secara langsung maupun tidak terhadap danau dan biota yang ada di dalamnya, berusaha merawat dan menjaga danau seperti mereka menjaga tubuh mereka sendiri. Jikalau ada aturan-aturan danau yang dilanggar, sama artinya mereka telah melukai diri dengan tangan mereka sendiri. Bagaimanapun, ketika danau mengalami kerusakan, masyarakat sekitar danau adalah yang paling pertama terkena imbasnya. Mereka yang paling menderita kerugian atas banjir maupun kekeringan yang terjadi pada danau. Seperti yang dialami masyarakat Danau Tempe pada saat musim hujan beliau tidak meninggalkan rumah mereka hanya untuk keperluan lain seperti membeli barang sesuai keperluan mereka, hal ini sama yang disampaikan oleh para pendahulu mereka. Danau menjadi sebuah sumberdaya yang sangat penting bagi masyarakat yang bermukim di sekitarnya. Sejak dahulu, para leluhur mengajarkan kepada masyarakat tentang pentingnya arti danau bagi kehidupan mereka. Danau adalah sumber mata pencaharian yang diibaratkan sebagai diri sendiri. Mereka mengumpamakan danau menjadi seperti anggota tubuh mereka sendiri, sehingga masyarakat Wajo, terutama mereka yang tinggal disekitar danau dan menggantungkan hidup mereka baik secara langsung maupun tidak terhadap danau dan biota yang ada di dalamnya, berusaha merawat dan menjaga danau seperti mereka menjaga tubuh mereka sendiri. Jikalau ada aturan-aturan danau yang dilanggar, sama artinya mereka telah melukai diri dengan tangan mereka sendiri. Di Danau Tempe sendiri, belum ada industri besar yang memanfaatkan danau atau biota-biota yang ada di danau untuk keperluan industri. Aktivitas di P-ISSN 2527-9319; E-ISSN 2548-9747 *64 *danau lebih banyak digunakan oleh masyarakat sekitar yang menjadi nelayan kecil. Mereka memanfaatkan danau sebagai tempat dimana mereka mencari nafkah untuk makan sehari-hari, juga untuk dijual guna memenuhi kebutuhan mereka yang lainnya. Itulah sebabnya, mengapa tidak ada persyaratan- persyaratan khusus ataupun biaya retribusi yang di bebankan kepada nelayan. Siapapun, terutama yang berdomisili di daerah danau, bisa menjadi nelayan tanpa harus diberikan syarat-syarat khusus. Selama yang bersangkutan juga menaati segala aturan main yang ada di danau, tidak ada spesifikiasi khusus tentang orang-orang yang ingin menjadi nelayan. • Pola Aktifitas Pemanfaatan Danau Tampe Pengetahuan masyarakat nelayan Danau Tempe tentang segala musim sebenarnya sudah ada sejak dahulu, namun beberapa dari mereka mengatakan bahwa musim saat ini tidak bisa diprediksikan. Musim hujan kadang datang tiba-tiba padahal musim panas/kemarau. Kadang pula pada musim hujan, cuaca sangat panas seperti pada musim kemarau. Aktivitas masyarakat nelayan ini berubah-ubah tergantung pada kondisi musim. Ada 3 musim yang mereka yakini terjadi setiap tahunnya yaitu 1 Musim barat yang jatuh pada bulan November April, pada bula Juni menjadi bulan persiapan memasuki musim timur, 2 pada bulan Juli September memasuki musim timur, dan 3 Musim Pancaroba pada bulan Oktober Desember. Lokasi pemukiman para nelayan ini adalah pesisir Danau Tempe, yang secara naluriah setiap tahunnya selalu mengalami banjir, akibatnya pengalaman membentuk pengetahuan mereka yakni berdasarkan beberapa jenis sistem pengetahuan yang digunakan sebagai penanda. Sistem pengetahuan yang mereka yakni tersebut seperti formasi bintang di langit yang menjadi tanda musim barat atau timur, perilaku beberapa hewan disekitar pemukiman nelayan seperti katak yang mengeluarkan banyak bunyi berarti akan memasuki musim hujan hingga banjir dan semut yang naik ke atas rumah atau masuk ke lahan pertanian jagung yang mereka jadikan tanda-tanda untuk pengetahuan musim mereka. Aktivitas nelayan ketika mencari ikan sepenuhnya berada di Danau Tempe. Bagi masyarakat yang profesi utamanya sebagai nelayan, biasanya memiliki pola hidup yang rutin mereka lakukan dan terdapat 2 pola, aktivitas tersebut biasanya berubah akibat perubahan musim. Pola Aktivitas Pertama, Biasanya aktivitas nelayan akan dimulai pada pagi hari setelah sholat subuh. Pukul nelayan berangkat ke danau untuk menangkap ikan, lalu pulang pada pukul untuk menjual hasil tangkapannya. Hasil tangkapan ini biasanya dijual oleh istri dan para suami kadang memanfaatkan waktu tersebut untuk beristirahat, walaupun terkadang ada yang ikut berjualan. Pada pukul nelayan berangkat lagi ke danau untuk memasang alat tangkapnya ETNOSIA Jurnal Etnografi Indonesia 41 Nelayan Danau Tempe Strategi Adaptasi *65 dan akan balik kerumahnya pada pukul Pola aktivitas kedua, bagi nelayan yang memilih waktu kedua biasanya akan berangkat pada pukul untuk memasang alat tangkap, nelayan ini pun biasanya akan bermalam di danau sembari menunggu hasil tangkapannya. Kemudian keesokan harinya pada pukul mereka akan pulang dan hasil tangkapan ikan diberikan kepada istri untuk dijual. Hampir seluruh pendapatan masyarakat di pesisir Danau Tempe berasal dari danau baik saat musim kemarau atau musim hujan hingga banjir. Hal tersebut menjadi bervariasi akibat perubahan musim dan menyebabkan pedapatan ekonomi pun berbeda-beda. Setiap masyarakat di pesisir pun punya cara penanganan masing-masing pada tiap musim. Bagi sebagian masyarakat nelayan di Indonesia, Musim penghujan dianggap sebagai musim paceklik, sebab angin barat yang berhembus sangat kencang seringkali menjadi hambatan bagi nelayan untuk turun melaut. Namun, bagi masyarakat nelayan Danau Tempe, di musim hujan merupakan musim penuh berkah, sebab hasil tangkapan mereka menjadi sangat melimpah. Mereka acap kali mencari ikan hanya disekitaran rumah mereka sehingga menghemat dari segi penggunaan bahan bakar. Namun, ini bukan berarti di musim penghujan masyarakat nelayan tidak mengalami masalah apa-apa. Kendala yang dihadapi masyarakat pada musim penghujan adalah banjir yang kerap kali merusak rumah-rumah dan perabotan yang mereka miliki. Untuk itu, di musim hujan, masyarakat nelayan yang bermukim di sekitar Danau Tempe memiliki pola adaptasi tersendiri. • Strategi Adaptasi Masyarakat Nelayan Terhadap Perubahan Musim 1 Musim Penghujan Secara umum, musim penghujan di Danau Tempe akan sangat identik dengan bencana banjir. Pada saat banjir, kondisi di Danau Tempe setiap kecamatan akan berbeda. Kecamatan yang daerahnya lebih rendah, akan terkena dampak banjir yang lebih lama. Biasanya, aktivitas masyarakat menjadi terhambat jikalau banjir datang. Selain aktivitas pertanian atau perkebunan yang gagal, sekolah diliburkan selama banjir menggenangi sekolah mereka. Di Kecamatan Sabbang Paru misalnya, informan mengatakan jika banjir terjadi, maka ia hanya tinggal dirumahnya seharian penuh. Segala aktivitas hanya berpusat di dalam rumah. Jika ada acara, misalnya pengantin atau Aqiqahan, maka mereka akan naik perahu ke rumah si empunya acara. Hampir setiap masyarakat di Kecamatan Naim memiliki perahu untuk menunjang aktivitas mereka, akibatnya ketika ada seorang anggota masyarakat mengadakan suatu acara pada saat banjir, deretan perahu akan terlihat mengelilingi panggung si empunya acara. P-ISSN 2527-9319; E-ISSN 2548-9747 *66 *Begitupun dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari mereka. Seperti membeli bahan pokok, biasanya jika seorang warga akan ke kota untuk membeli kebutuhan mereka, beberapa warga yang lain akan menitipakan bahan belanjaan mereka. Hal seperti itupun sebaliknya yang akan terjadi jika ada tetangga yang kota guna membeli keperluan mereka, mereka akan saling tolong-menolong. Hampir keseluruhan rumah masyarakat pada empat kecamatan ini adalah rumah panggung adat Bugis. Meskipun sama-sama rumah panggung, rumah panggung yang ada di kecamatan yang datarannya lebih rendah ternyata berbeda dengan yang berada di dataran lebih tinggi. Informan mengemukakan bahwa, di dalam rumah mereka, tepatnya dibawah atap, ada bagian rumah yang mereka persiapkan untuk mengantisipasi banjir datang. Tempat tersebut disebut dengan rakkeang. Rakkeang sangat berfungsi besar bagi masyarakat yang bermukim di kecamatan Tempe. Dimana debit air di Kecamatan Tempe cukup besar sekitar 4-5 meter sehingga menyebabkan rumah panggung mereka yang cukup tinggi tetap terendam oleh banjir. Rakkeang menjadi tempat utama, segala bahan pokok dipindahkan ke atas rakkeang. Di rakkeang, beberapa masyarakat kecamatan Tempe memanfaatkannya sebagai ruang untuk tidur, sehingga rakkeang menjadi tempat yang sangat penting untuk aktivitas didalam rumah masyarakat kecamatan Tempe saat banjir menyerang rumah mereka. Mereka akan keluar dari rakkeang ketika mereka ingin berinteraksi dengan tetangga atau ketika mereka akan melakukan pekerjaan mereka yakni mencari ikan untuk dijual atau sekedar untuk kebutuhan makan. Rakkeang juga dapat ditemukan di wilayah Tanasitolo dan Belawa. Namun pada masyarakat di kecamatan ini, yang membuat rakkeang hanya sebagian kecil. Rakkeang dibuat hanya pada masyarakat yang rumahnya terdekat dengan danau saja, itupun hanya sebagaian kecil saja masyarakat yang dekat dengan pesisir. Hal ini berbeda dengan Informan dari Kecamatan Sabbang Paru, menjelaskan bahwa rumah mereka tidak memerlukan rakkeang karena debit air pada saat banjir, tidak separah debit air di kecamatan Tempe. Banjir yang terjadi hanya sekitar 1 meter, sehingga tidak sampai memasuki rumah warga. Selain itu, di tempat yang letak daratannya lebih rendah, saat banjir tiba, masyarakat akan melakukan pola adaptasi dengan membuat panggung di dalam rumah mereka yang dibuat dari bahan bambu. Ini bentuknya seperti bale-bale yang diletakkan di dalam rumah. Kursi, meja, dan beberapa perabotan rumah tangga yang mereka anggap perlu untuk diamankan akan ditaruh di atas panggung bambu. Hanya barang-barang seperti motor, mobil, atau barang lainnya yang terkena banjir yang dialokasikan ke gudang besar atau mereka tampung diatas rumah mereka masing-masing. Kebiasaan ETNOSIA Jurnal Etnografi Indonesia 41 Nelayan Danau Tempe Strategi Adaptasi *67 tersebut selalu terjadi setiap tahunnya sehingga membuat masyarakat tidak merasa perlu untuk meninggalkan rumah mereka. Adaptasi lain yang dilakukan masyarakat adalah dengan membuat Pallangga bola. Pallanga bola ini terbuat dari semen campuran batu yang dibuat untuk menahan tiang penyangga rumah. Ukurannya bervariasi, namun bentuknya selalu persegi empat. Untuk rumah masyarakat nelayan, Pallangga bola ini biasanya dibuat agak tinggi dibandingkan pallangga bola rumah bugis biasanya. Hal ini disebabkan fungsi palllangga bola bagi nelayan agar rumah mereka menjadi lebih tinggi dan terendam banjir tidak terlalu tinggi. Dengan menambahkan pallangga bola ke bawah tiang penyangga ke rumah, nelayan berharap ketika eceng gondok datang meyerbu rumah mereka saat banjir, rumah mereka tidak akan goyang karna pallangga yang kuat. Eceng gondok adalah satu musibah bagi masyarakat nelayan ketika banjir tiba. Kekuatan dari eceng gondok mampu membuat rumah nelayan terdorong sehingga untuk mengantisispasi hal tersebut terjadi, dibuatlah patto’do itu. Patto’do terbuat dari bambu yang di pasang di sekeliling rumah. Bambu tersebut dipasang dengan tujuan arus danau tidak membawa eceng gondok dalam jumlah yang besar masuk ke area pekarangan rumah, hingga menerjang rumah nelayan. Dengan patto’do dipasang, nelayan berharap rumah mereka tidak akan dimasuki pecahan-pecahan eceng gondok, dan tertahan di pattodo. Ketika banjir, penghasilan nelayan biasanya Rp. untuk hasil yang memuaskan, namun kata informan dengan penghasilan Rp. mereka sudah membiayai kebutuhan utama keluarga. Musim hujan selalu menghasilkan ikan-ikan yang berlimpah sehingga pendapatan mereka biasanya berlimpah saat banjir. Hasil tangkapan mereka biasanya beberapa jenis ikan tersebut seperti bale salo, bale ulaweng, dan ikan Patin. Hasil tangkapan ini yang membuat mereka ketika banjir, enggan pindah ke tempat pengungsian yang telah disediakan oleh pemerintah bahkan tidak ada yang ingin pindah. Mereka merasa sudah merasa nyaman dengan rumah mereka, sebab tempat penghasilan mereka pun sangat dekat karena mereka sudah tinggal di pesisir danau. Selain itu, mereka tidak mau pindah dengan alasan kepercayaan yang diturunkan oleh nenek moyang mereka dulu. Mereka mengemukakan bahwa, mereka menganggap danau menjadi seperti anggota badan sendiri ditujukan agar masyarakat Wajo, terutama mereka yang tinggal disekitar danau dan menggantungkan hidup mereka baik secara langsung maupun tidak terhadap danau dan biota yang ada di dalamnya, berusaha merawat dan menjaga danau seperti mereka menjaga tubuh mereka sendiri. Jikalau ada aturan-aturan danau yang dilanggar, sama artinya mereka telah melukai diri dengan tangan mereka sendiri. P-ISSN 2527-9319; E-ISSN 2548-9747 *68 *Bagaimanapun, ketika danau mengalami kerusakan, masyarakat sekitar danau adalah yang paling pertama terkena imbasnya. Mereka yang paling menderita kerugian atas banjir maupun kekeringan yang terjadi pada danau. Karena itulah, masyarakat berusaha dengan sedemikian rupa tinggal dan menjaga keadaan danau meskipun banjir datang. Alasan lain masyarakat tidak ingin pindah adalah, jika mereka jauh dari tempat pengungsian maka mereka tidak akan mendapatkan bantuan dari pihak-pihak yang prihatin. Pada saat banjir, banyak instansi-instansi yang turun untuk menyampaikan rasa prihatin sekaligus bantuan kepada mereka. Bantuan yang turun biasanya disalurkan langsung kepada peduduk di rumah-rumah mereka dalam bentuk yang bermacam-macam. Ada yang berupa uang tunai, namun kebanyakan berupa bantuan sembako, makanan instan serta pakaian dan selimut. Informasi tersebut di atas dikuatkan oleh pengakuan informan, seorang warga Kecamatan Tempe yang mengemuka-kan bahwa bantuan itu datang dari berbagai pihak seperti dari pemerintah setempat, Lembaga Swadaya Masyarakat LSM dan bahkan dari anggota masyarakat lain yang mampu. Bentuknya pun sangat beragam, namun yang paling sering adalah makanan kebutuhan sehari-hari seperti mie instan dan beras. Bahan sembako seperti mie instan, goreng, minyak, dan gula. Bahan bantuan tersebut selain berasal dari pemerintah, terkadang juga dari mahasiswa. Meskipun tidak mau pindah dari rumahnya, wilayah, utamanya masyarakat pesisir Kecamatan Sabbang Paru dan kecamatan Tempe harus menyiapkan tempat atau gudang khusus untuk kendaraannya agar tidak rusak jika banjir melanda pemukiman mereka. Bisa juga masyarakat nelayan menitipkan kendaraan mereka di tempat yang aman dari banjir. Biasanya mereka menitipkan kendaraan di rumah keluarga ataupun kerabat mereka yang tinggal di Kota Sengkang yang letaknya lebih tinggi dari tempat kita disini sekitar danau. Meskipun tidak memakan biaya, namun kondisi seperti itu juga membuat mereka merasa tidak enak, apalagi jika banjir berlangsung hingga berbulan-bulan. Perahu adalah satu-satunya kendaraan yang digunakan pada saat banjir. Pada beberapa masyarakat ketika kemarau, perahu sampan hanya di simpan di bawah rumah dan mulai diperhatikan kondisinya, pada saat musim penghujan telah dekat. Perahu sampan ini kemudian diperbaiki jikalau terjadi kebocoran atau di cat untuk persiapan pada saat banjir tiba. Saat banjir, perahu adalah kendaraan pokok masyarakat ini dalam beraktivitas di luar rumah. Rusnah 21 tahun menjelaskan bahwa mereka keluar rumah pada saat banjir untuk hal-hal yang penting saja seperti keluar membeli barang kebutuhan. Kebutuhan mereka ketika banjir pun hanya dibeli ketika ETNOSIA Jurnal Etnografi Indonesia 41 Nelayan Danau Tempe Strategi Adaptasi *69 mereka sangat butuh barang tersebut karena jarak yang jauh dan menempuhnya pun harus menggunakan perahu. Hal yang penting lainnya adalah menghadiri pesta ketika ada warga yang membuat acara. Misalnya acara khitanan. Pada saat pesta, si empunya acara akan membuat sarapo sejenis panggung, lalu masyarakat sebagai tamu akan berkumpul di rumah si empunya acara dan juga di Sarapo tersebut. Namun kata Rusnah, sangat jarang masyarakat yang membuat acara ketika banjir melanda pemukiman mereka, kebanyakan masyarakat akan lebih memilih musim kemarau. Selain itu, perahu juga digunakan untuk pekerjaan tambahan dengan menjadi supir perahu untuk masyarakat sekitar yang ingin menyebrang. 2 Musim Kemarau Pada saat musim kemarau, aktivitas di danau pada beberapa kecamatan tetap jalan namun tidak se-intesif musim banjir dimana debit air pada musim kemarau sangat menurun. Penghasilan mereka sangat menurun. Hal ini disebabkan karena ketika debit air menurun, ikan-ikan menjadi sangat langka. Lahan danau pun sebagian berubah menjadi lahan kering sehingga sebagian masyarakat di sekitaran danau menggunakannya sebagai lahan bercocok tanam. Mereka menganggap lahan yang telah digenangi air tersebut sangat baik dan potensial untuk ditanami tanaman karena tanahnya gembur yang menyebabkan tanaman akan tumbuh subur. Hal ini membuat masyarakat nelayan berpindah profesi sementara menjadi petani ataupun kuli tani yang bercocok-tanam di pesisir Danau Tempe di tempat yang sebelumnya digenangi air. Lahan yang digunakan untuk bercocok tanam adalah pesisir danau yang mengering. Pesisir tersebut ditanami ketika debit air menurun. Lahan tersebut mereka tanami jagung, kacang kacangan dan sayur-sayuran. Masyarakat nelayan yang berkebun di pesisir tidak menggunakan sistem perairan untuk daerah dataran yang paling rendah seperti kebun yang ditanami semangka dan kedelai. Hanya pada tanaman padi atau jagung yang terkadang menggunakan pompa untuk mengairi lahan pertanian mereka, hal ini juga disebabkan oleh lahan pertanian padi berada di dataran yang cukup tinggi dibanding lahan sayur-mayur. Lahan yang digunakan untuk bercocok tanam adalah pesisir danau yang mulai dan akan mengering. Pesisir tersebut ditanami ketika debit air menurun. Lahan tersebut mereka tanami jagung, kacang kacangan dan sayur-sayuran khusus untuk daerah dataran paling rendah sekaligus yang cukup dekat dengan air. Sedangkan untuk daerah dataran yang agak tinggi, akan mereka tanami yang memakan waktu cukup panjang proses pertumbuhannya seperti padi dan jagung. Namun bagi mereka yang mayoritas nelayan, pendapatan mereka tidak bergantung pada hasil perkebunan mereka. P-ISSN 2527-9319; E-ISSN 2548-9747 *70 *Tidak semua nelayan serta-merta dapat menjadi petani kebun karena harus memiliki modal membayar retribusi kepada Dinas Pendapatan Daerah untuk menyewa tanah danau yang mengering, sebab bagaimanapun juga, danau merupakan aset pemerintah daerah. Pemerintah daerah, dalam hal ini adalah Dinas Pertanian kemudian mengambil alih pengelolaan danau pada musim kemarau. Dinas pertanian dan perkebunan kemudian bekerja sama dengan para lurah di daerah masing-masing guna mengatur pembagian dan daerah tanam penduduk. Beberapa masyarakat nelayan Danau Tempe yang tidak sanggup membayar retribusi akan mencari penghasilan tambahan lainnya. Penghasilan tambahan tersebut seperti laki-laki berangkat ke kota untuk menjadi tukang bangunan, adapula yang menjadi tukang cat rumah. Selain itu, perempuan pun mengambil peranan. Pekerjaan tambahan juga banyak dilakukan oleh istri nelayan seperti membuat pukat dan jala, kemudian dijual dan hasilnya akan mereka gunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari mereka di pasar. Beberapa perempuan lainnya membuat abon ikan yang hasilnya mereka jual di kota hingga keluar Kota Sengkang. Sedangkan bagi anak-anak, mereka dibekali keterampilan dari orangtuanya atau keluarganya untuk bekerja sebagai tukang kayu pembuat perahu, tukang bemor becak-motor hingga beberapa anak-anak mereka mulai dapat berkerja di Kantor Kelurahan. Namun, disamping semua pekerjaaan tambahan tersebut, kebanyakan masyarakat ini lebih memilih untuk mencari ikan di danau sekalipun musim kemarau. Hasilnya untuk dijual dan beberapa hasil lainnya untuk santapan keluarga. Selain itu, masyarakat nelayan sebelumnya telah mengantisipasi masalah perubahan musim ini dengan menyiapkan tabungan. Meskipun jumlah tabungan yang disiapkan jarang yang berjumlah besar, sebab tabungan tersebut juga mereka gunakan pada akhir musim penghujan untuk memperbaiki rumah dan perabot mereka yang hancur akibat banjir. Namun, bagi mereka, dengan adanya uang tabungan, paling tidak mereka menjadi tidak khawatir lagi dengan apa yang mereka dapat konsumsi sambil menunggu musim hujan berikutnya. Selain masalah produksi, meskipun hampir sama pada saat musim penghujan, namun pada musim kemarau, masyarakat nelayan biasanya hanya mengambil ikan di danau untuk kepentingan konsumsi. Selain itu, mereka menanam sayuran di lahan yang kering, seperti kangkung, kacang, dan sayuran lainnya untuk konsumsi sendiri. Di musim penghujan, bahan makanan mereka dapatkan di pasar-pasar terdekat, namun, dimusim kemarau, karena kondisi keuangan mereka yang sedang memprihatinkan, mereka beradaptasi dengan jalan membuat menu konsumsi keluarga dengan bahan-bahan yang mereka dapatkan dengan menanam sendiri. Semakin kreatif para ibu rumah tangga dalam menanam dan membuat hasilnya ETNOSIA Jurnal Etnografi Indonesia 41 Nelayan Danau Tempe Strategi Adaptasi *71 menjadi konsumsi sehar-hari, semakin bijaksana mereka mengelola keuangan. Kuncinya adalah kerja sama antar anggota keluarga, agar mereka bisa melalui musim paceklik dengan baik dan mempersiapkan dirinya untu musim berikutnya yang memiliki tantangan yang berbeda. 4. Kesimpulan Danau menjadi sebuah sumberdaya yang sangat penting bagi masyarakat yang bermukim di sekitarnya terutama untuk masyarakat nelayan. Sejak dahulu masyarakat menempatkan Danau Tempe sebagai bagian dari diri mereka sendiri. Meskipun begitu, Danau ini, disetiap musimnya mengharuskan masyarakat di sekitarnya, terutama masyarakat nelayan Danau Tempe harus mampu mengubah pola hidup mereka, sebab karakter Danau Tempe yang unik, sehingga mereka harus bisa beradaptasi kondisi tersebut. Berdasarkan hasil penelitian aktivitas masyarakat nelayan ini berubah-ubah tergantung pada kondisi musim. Pada musim penghujan banjir dalam keadaan tertentu dapat membawa ancaman bagi mereka sedangkan ketika musim kemarau, air di Danau Tempe menguap, hingga danau mengalami kekeringan. Populasi ikan dan biota danau lainnya akan berkurang hilang entah kemana, akibatnya nelayan merasakan panceklik yang berkepanjangan karena kehilangan mata pencaharian utama. Perubahan air danau kemudian menjadi dasar perubahan strategi adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat. Strategi adaptasi yang diartikan sebagai langkah-langkah penyesuaian antara individu dengan lingkungan, baik itu lingkungan alam maupun lingkungan sosial pada masyarakat sekitar Danau Tempe sangat ditentukan oleh perbedaan musim. Perbedaan musim yang membawa perbedaan kondisi sosial ekonomi tersebut kemudian membawa masyarakat pada pola adaptasi yang berbeda setiap musimnya. Pola Adaptasi pada musim penghujan mereka dimulai dengan membangun rumah berbentuk panggung, membuat rakkeang, membuat panggung di dalam rumah mereka yang dibuat dari bahan bambu untuk meletakkan perabotan Rumah Tangga serta membuat Pallangga Bola. Pada Musim kemarau masyarakat nelayan beradaptasi dengan berpindah profesi sementara menjadi petani ataupun kuli tani yang bercocok-tanam di pesisir Danau Tempe. Sebagian dari mereka juga berangkat ke kota untuk menjadi tukang bangunan. Perempuan, istri nelayan juga ikut turut mengambil peranan dengan membuat pukat dan jala, membuat abon ikan, dan lain sebagainya. Segala upaya tersebut mereka lakukan agar mereka bisa tetap bertahan, beradaptasi dalam menghadapi segala jenis musim dengan baik. P-ISSN 2527-9319; E-ISSN 2548-9747 *72 *5. Daftar Pustaka Acheson, Dr. James M. 2006. Institutional Failure in Resource Management. Annual Reviews in Anthropology Vol 35, 117-134. William Durham, ed. Palo Alto, CA Annual Reviews. Arifin, Bustanul. 1999. Kebijakan Ekonomi Kerakyatan Intervensi Pemerintah Dalam Sistem Pengelolaan Sumber Daya Alam. Jakarta AMAN. Barus, Ternala Alexander. 2007. Keanekaragaman Hayati Ekosistem Danau Toba dan Upaya Pelestariannya. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Medan Universitas Sumatra Utara Fitria, Eva. 2008. Analisis Kualitas Air dan Hubungannya dengan Keanekaragaman Vegetasi Akuatik Di Perairan Parapat Danau Toba. Tesis. Medan Universitas Sumatera Utara Haryono, Trijoko Sri. 2005. Strategi Kelangsungan Hidup Nelayan. Jurnal Berkala Ilmiah Kependudukan 7 2, 126-127 Helmi, Alfian. Dkk. 2012. Strategi Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Ekologis. Makara, Sosial Humaniora, Vol. 16, No. 1, Juli 68-78 Lumaksono,Galih. 2013. Strategi Adaptasi Masyarakat Dalam Menghadapi Kekurangan Air Bersih Studi Kasus Di Kampung Jomblang Perbalan Kelurahan Candi Kecamatan Candisari Kota Semarang. Skripsi. Semarang. Universitas Negeri Semarang Naing, Naidah. 2009. Kearifan Lokal Tradisional Masyarakat Nelayan Pada pemukiman Mengapung Di Danau Tempe Sulawesi Selatan. Surabaya, Local Wisdom Volume I, Nomor 1. Halaman 19 - 26, Nopember 2009 Patriana, Ratna Dkk. 2013. Pola Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim Studi Kasus Nelayan Dusun Ciawitali, Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Jurnal Sosek Kp Vol. 8 No. 1 Tahun 2013. Hal 11-23 Siahaan, 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta Erlangga Sitepu, Lonaria. 2012. Pola Adaptasi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Suka Meriah Pasca Bencana Alam Gunung Sinabung. Skripsi. Medan. Universitas Sumatra Utara. Syahfitri, Aria Mardiani. 2017. Adaptasi Sosial Masyarakat Rusunawa Kota Binjai. Skripsi. Medan. Universitas Sumatra Utara. Ulfa, Mariam. 2018. Persepsi Masyarakat Nelayan Dalam Menghadapi Perubahan Iklim Ditinjau Dalam Aspek Sosial Ekonomi. Jurnal Pendidikan Geografi, Tahun 23, Nomor 1, Jan 2018 , Hal 41-49. * ... Pemanfaatan sumber daya perairan danau Tempe di Kabupaten Wajo hingga saat ini masih dilakukan berdasarkan tradisi dan kearifan lokal masyarakat nelayan setempat. Danau Tempe menjadi tempat bagi masyarakat sekitar dalam menggantungkan hidup mereka Hamka & Naping, 2019. Potensi sumber daya perairan yang dimiliki menjadi daya tarik bagi masyarakat nelayan untuk dalam memanfaatkan danau Tempe Beddu et al., 2019. ... Muhammad Ansarullah S. TabbuMuhammad Fikri AmrullahThe tradition and local wisdom of the Bugis fishermen’s community in the management of Lake Tempe is a visible social reality phenomenon in the form of a set of customs called Ade' Assamaturuseng. The purpose of this study is to reveal the meaning noumena of the actions of Bugis fishermen in the use of Lake Tempe as a visible reality phenomena based on customary local prohibitions called Ade' Assamaturuseng customs that are obeyed together. The research method used is a qualitative research method with a phenomenological approach to the perspective of Alfred Schurtz. Data collection techniques include in-depth interviews, participant observation, and documentation studies. The results of the research show that the prohibitions in the Ade' Assamaturuseng custom are the background contexts because of the motives for the actions or behavior of fishermen in utilizing Lake Tempe. These actions or behaviors have objective motives in order motives so that they contain meaning as in the statements of the research subjects about the custom. In Schurtz's phenomenological perspective, the meaning of fishermen's actions based on the customary prohibitions of Ade' Assamaturuseng, among others; 1 Means as a conservation effort; 2 Means social justice; 3 Meaning as the practice of belief and religion. From the findings, it can be understood that the traditions and local wisdom of Bugis fishermen in the management of Lake Tempe contain the dimensions of values in environmental conservation, togetherness justice, and culture comprehensively. It can be seen that the behavior of the Bugis fishing community is very respectful of the natural environment as part of their lives and realizes the use of Lake Tempe sustainably and equitably.... The result of [6] studied shows that the people of Lake Tempe area in the rainy season become lake fishermen, while in the dry season they become farmers or farm laborers. So that the activities of catching fishery resources and agricultural activities are carried out alternately in accordance with the changing seasons. ...In the Lake Tempe Area every rainy season is flooded. Where in the dry season the waters of Lake Tempe will experience drought and in the rainy season will experience overflowing water that causes flooding. Both seasons have an impact on the agricultural conditions of the community in the Lake Tempe Area. Due to the change of seasons is the dominant factor that causes local communities to adapt and interact with their environment which will also impact the income of people in the Lake Tempe Area. This study aims to analyze the income of people in the Lake Tempe Area Fishermen Farmers in farming activities, fishing and households, in Mallusesalo Village, Sabbangparu District, Wajo Regency and the results showed that during the period studied, namely from April to May 2019, the average household income of respondents in Mallusesalo Village in one year amounted to IDR 29,034,441 household income derived from agricultural and fishing income.... With this tradition the community is able to develop their abilities in dealing with natural conditions, not least the readiness of the fishing community in dealing with flood conditions. They are also still strong in holding customs so that even in a state of flooding they strive to obey them [9]. Based on an interview with one of the fishermen on Lake Tempe, namely Mr. Bahar, the customs are still obeyed by the fishermen who are around the lake. ...Mariam UlfaPerubahan iklim merupakan permasalahan utama yang dihadapi masyarakat nelayan. Fenomena perubahan iklim terjadi dikarenakan pemanasan global yang membuat suhu bumi terus meningkat dan berefek pada panjangnya musim kemarau, mencairnya gunugan es di kutub dan naiknya permukaan air laut. Desa Tamansari Kecamatan Dringu Kabupaten Probolinggo merupakan salah satu desa nelayan yang berada di pesisir pantai. Sebagai masyarakat yang tinggal di pesisir pantai, masyarakat nelayan bergantung pada sumber daya kelautan untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan hidup. Berdasarkan permasalahan tersebut, kemudian memunculkan pertanyaan penelitian, “bagaimana masyarakat nelayan menanggapi adanya dampak perubahan iklim terhadap kehidupan sosial ekonomi”. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Peneliti bermaksud memaparkan gambaran dan data mendalam dengan menggunakan metode kualitatif melalui wawancara mendalam dan observasi. Subyek informan dalam penelitian ini adalah masyarakat nelayan yang masih menggunakan alat tradisional dalam menangkap ikan. Untuk menentukan subyek informan dilakukan dengan cara snowball. Informan pertama merupakan informan kunci dalam menentukan kriteria informan selanjutnya. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa dampak perubahan iklim membuat nelayan mengalami permasalahan sosial ekonomi. Dalam persoalan ekonomi, dampak perubahan iklim membuat masyarakat nelayan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup dan rentan terhadap kemiskinan. Sedangkan dalam permasalahan sosial yang dihadapi nelayan yaitu nelayan tidak dapat menentukan musim yang terjadi dikarena cuaca yang tidak dapat diprediksi, jarak yang ditempuh untuk mencari ikan lebih jauh dan sumber daya perikanan berkurang. DOI James M. AchesonMany of the world's natural resources are in a state of crisis. The solution to this crisis is to develop effective management institutions, but there is no consensus on what those institutions are. Some economists favor solving resource-management problems through the institution of private property; others advocate central government control; and many anthropologists see local-level management as the solution. In this review, I argue that all these governance structures fail under certain conditions. However, the factors contributing to failure in each of these institutional forms differ radically, and the causes of that failure are not always predicted on the basis of existing theory. This chapter contains a review of the literature on the factors identified as causing the failure of private-property regimes, government-controlled resources, and local-level management. We will have to learn to match the resource problems with governance institutions and specific management techniques if we are to manage resources effectively. We also will have to understand the complex biosocial factors influencing Fitra09E00101 Analisis kualitas air dan hubungannya dengan keanekaragaman vegetasi akuatik telah diteliti pada bulan Januari 2008-April 2008. Metode yang digunakan dalam menentukan lokasi pengambilan sampel adalah “Purpose Random Sampling”. Analisis kualitas air dilihat dari kandungan faktor fisik kimia air yang dianalisis di Puslit SDAL Universitas Sumatera Utara. Identifikasi sampel vegetasi akuatik dilakukan di Laboraturium Ekologi FMIPA Universitas Sumatera Utara Hasil penelitan menunjukkan sifat fisika – kimia perairan Danau Toba BOD5, COD, fosfat,NO3-N, Amonia berdasarkan PP No 82 tahun 2001,telah melewati ambang batas baku mutu air untuk golongan I sehingga perairan Danau Toba khususnya kawasan Parapat tercemar sedang sampai berat sehingga tidak layak di jadikan sebagai sumber air minum. Di perairan Danau Toba ditemukan 8 spesies vegetasi akuatik yaitu Eichhornia crassipes, Nelumbo lutea, Peltandra virginica, Hydrilla verticillata, Pistia stratiodes, Ipomoea aquatica, Marsilea villosa dan Typha angustifolia. Analisis persentase dari kerapatan dan frekwensi kehadiran diperoleh hasil bahwa spesies yang dominan di perairan Danau Toba adalah Hydrilla verticillata dengan Indeks Nilai Penting berkisar 80,04% sampai 81,88%. Indeks keanekaragaman vegetasi akuatik diperoleh nilai berkisar 1,06 – 1,33, Indeks keseragaman 0,68 – 0,97, Indeks similaritas sebesar 40%. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa COD, temperatur dan amonia berpengaruh nyata terhadap keanekaragaman vegetasi akuatik yang terdapat di perairan Danau Toba. The analysis of water quality and the correlation with the aquatic vegetation diversity has been analyzed in January 2008-April 2008. The method in determining the sample location is “Purpose Random Sampling”. The analysis of water quality can bee seen based on the physical-chemical content which analyzed in The Center of Environment Effect PUSLITDAL and identification of aquatic vegetation sample perform in the Ecology laboratory of FMIPA North Sumatera University. The result of this research showed physical–chemical nature of Lake Toba Waterway BOD5, COD, Phosphate, NO3-N, Ammonia based on PP No. 82 year 2001, has passed the threshold of water quality for Type 1 therefore the Lake Toba Waterway particularly Parapat area included in middle and high polluted and cannot be used as drinking water. In Lake Toba Waterway showed 8 species aquatic vegetation such as, Eichhornia crassipes, Nelumbo lutea, Peltandra virginica, Hydrilla verticillata, Pistia stratiodes, Ipomoea aquatica, Marsilea villosa and Typha angustifolia. The analysis percentage of density and presentation frequency showed result that dominant species in Lake Toba Waterway is Hydrilla verticillata with Importance Value Index about 80, 04% to 81, 88%. The aquatic vegetation diversity Index get value for about 1, 06 – 1, 33. Diversity index 0, 68 –0, 97. Similarity index for about 40%. The result of Pearson correlation test showed that COD, temperature, ammonia correlated or same course with real effect toward of aquatic vegetation diversity in Lake Toba Waterway. Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus, Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MSKebijakan Ekonomi Kerakyatan Intervensi Pemerintah Dalam Sistem Pengelolaan Sumber Daya AlamBustanul ArifinArifin, Bustanul. 1999. Kebijakan Ekonomi Kerakyatan Intervensi Pemerintah Dalam Sistem Pengelolaan Sumber Daya Alam. Jakarta Hayati Ekosistem Danau Toba dan Upaya Pelestariannya. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan AlamTernala BarusAlexanderBarus, Ternala Alexander. 2007. Keanekaragaman Hayati Ekosistem Danau Toba dan Upaya Pelestariannya. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Medan Universitas Sumatra UtaraStrategi Kelangsungan Hidup NelayanTrijoko HaryonoSriHaryono, Trijoko Sri. 2005. Strategi Kelangsungan Hidup Nelayan. Jurnal Berkala Ilmiah Kependudukan 7 2, 126-127Strategi Adaptasi Masyarakat Dalam Menghadapi Kekurangan Air Bersih Studi Kasus Di Kampung Jomblang Perbalan Kelurahan Candi Kecamatan Candisari Kota Semarang. Skripsi. SemarangGalih LumaksonoLumaksono,Galih. 2013. Strategi Adaptasi Masyarakat Dalam Menghadapi Kekurangan Air Bersih Studi Kasus Di Kampung Jomblang Perbalan Kelurahan Candi Kecamatan Candisari Kota Semarang. Skripsi. Semarang. Universitas Negeri SemarangKearifan Lokal Tradisional Masyarakat Nelayan Pada pemukiman Mengapung Di Danau Tempe Sulawesi Selatan. Surabaya, Local Wisdom Volume I, Nomor 1Naidah NaingNaing, Naidah. 2009. Kearifan Lokal Tradisional Masyarakat Nelayan Pada pemukiman Mengapung Di Danau Tempe Sulawesi Selatan. Surabaya, Local Wisdom Volume I, Nomor 1. Halaman 19 -26, Nopember 2009Ratna PatrianaDkkPatriana, Ratna Dkk. 2013. Pola Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim Studi Kasus Nelayan Dusun Ciawitali, Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Jurnal Sosek Kp Vol. 8 No. 1 Tahun 2013. Hal 11-23Hukum Lingkungan dan Ekologi PembangunanN H T SiahaanSiahaan, 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta Erlangga
AMLAPURA - Nelayan sekitar Pantai Ujung Pesisi, Desa Tumbu, Kecamatan Karangasem, Bali, keluhkan minimnya hasil tangkapan ikan di tengah laut, Selasa 9/6/2020 siang. Minimnya tangkapan ikan sekitar Kab. Karangasem terjadi sejak dua minggu yang lalu, tepatnya akhir Bulan Mei 2020. Romi, nelayan asal Ujung Pesisi mengatakan, hasil tangkapan menurun. Per hari nelayan hanya dapat ikan 20 sampai 50 ikan tongkol. • Hanya Butuh 5 Bahan, Berikut Resep Strawberry and Mango Yoghurt Trifle Segar • Pesawat Tempur China Masuk Zona Pertahanan Udara Taiwan, Jet Angkatan Udara Lakukan Pengusiran • Roadmap To Bali’s Next Normal, Australia Siap Segera ke Bali Kadang beberapa nelayan yang turun melaut tak mendapat ikan. "Sekarang paling banyak dapat 50 ekor,"jelas Romi saat ditemui di Pantai, Selasa 9/6/2020. Minimnya hasil tangkapan dipicu karena sedikitnya ikan, terutama tongkol, kepermukaan laut. Penyebabnya karena perubahan suhu di tengah laut, sehingga nelayan mengalami paceklik ikan. Biasanya saat musim panas seperti sekarang ini banyak ikan tongkol kepermukaan cari makanan. "Semoga paceklik segera berakhir. Sehingga nelayan bisa mendapat hasil tangkapan lebih. Biasanya, para nelayan dapat ikan sampai ribuan ekor saat musimnya. Sekarang paceklik, per hari hanya dapat puluhan ekor,"imbuh Romi, pria asal Ujung Pesisi. Firmansyah, rekan Romi, menambahkan, beberapa nelayan sementara tidak turun melaut karena paceklik. Sebagian nelayan mengaku merugi lantaran hasil tangkapan ikan tak sesuai dengan modal yang dikeluarkan. Per harinya beli bahan bakar minyak ribu, tangkapan cuma 20 ekor. "Cuaca di tengah laut landai, masih bersahabat dengan nelayan. Cuma ikan ditengah laut yang jarang. Padahal harga ikan sekarang lumayan. Per ekornya bisa capai tembus angka 3-4 ribu. Permintaan juga meningkat drastis,"tambah Firmansyah.
nelayan di pesisir pantai sumatera barat menghadapi musim paceklik